BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Perkembangan suatu kota sangat dipengaruhi oleh perkembangan system transportasi di kota tersebut. Suatu sistem haruslah berjalan baik sepanjang waktu. Makin meningkatnya kegiatan penduduk suatu daerah, maka makin menungkat pula pergerakan manusia, barang dan jasa sehingga kebutuhan akan jasa transportasi akan meningkat pula. Karena itu pemenuhan kebutuhan transportasi perlu terus ditingkatkan untuk menunjang pergerakan manusia, barang maupun jasa.
Suatu kota yang berpenduduk dalam jumlah besar dan mempunyai kegiatan perkotaan yang luas memerlukan pelayanan transportasi berkapasitas tinggi dan ditata secara terpadu. Oleh karena itu pada dasarnya transportasi merupakan Devired Demand artinya permintaan akan jasa transportasi timbul dari kebutuhan sector-sektor lain.
Kota yang baik dapat ditandai antara lain dengan melihat kondisi transportasinya. Sektor transportasi harus mampu memberikan kemudahan bagi seluruh masyarakat dalam segala kegiatannya di semua lokasi yang berbeda dan tersebar dengan karakteristik fisik yang berbeda pula. Dengan kata lain, setiap wilayah kota harus dapat dijangkau oleh system pelayanan angkutan umum yang ada, untuk itu kebutuhan transportasi harus seimbang dengan penyediaan prasarana dan didukung oleh sistem jaringan jalan dengan tingkat pelayanan yang memadai.
Lalu lintas dan jaringan jalan memiliki peranan yang sangat penting sehingga penyelenggaraannya dan pembinaannya dikuasai oleh Negara dan swasta dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan jaringan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib,teratur, nyaman dan efisien. Disamping itu untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penggunaan dan pemanfaatan jalan, diperlukan pula adanya ketentuan-ketentuan bagi pemerintah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perencanaan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan.
Kota sebagai simul jasa distribusi, memiliki peranan yang penting dalam memacu perkembangan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi yang cepat akan mengakibatkan perubahan aktifitas kota yang berdampak pada struktur dan karakteristik serta pola penggunaan lahan koa kemidian diikuti oleh pengembangan kota.
Kota Makassar merupakan Ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai luasan sekitar 175,77 Km2 yang dibagi kedalam 14 kecamatan dan 143 kelurahan.
Kota Makassar yang merupakan kota metropolitan, pada saat ini tingat kepadatannya bisa dikatakan sangat tinggi khususnya pada ruas Jl. AP.Pettarani yang pada jam-jam sibuk kendaraan yang berlalu-lalang sangat padat sehingga sering menimbulkan kemacetan.
Hal inilah yang mendasari kami tertarik mengambil ruas Jalan AP. Pettarani sebagai studi kasus yang nantinya dapat menjadi pertimbangan untuk mengatasi masalah lalu lintas yang ada di ruas jalan ini.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian yaitu:
Bagaimana manajemen yang baik untuk diterapkan dalam transportasi jalan raya agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam transportasi perkotaan?




2.1 Tujuan dan Sasaran
a. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mencari dan mengetahui manajemen transportasi pada jalan raya agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan transportasi perkotaan.
b. Sasaran
Sasaran dari diadakannya penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan saran untuk peningkatan kualitas dari pelayanan lalu lintas di wilayah studi.

3. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari laporan ini yang dipakai merupakan susunan, kerangka permasalahan teoritis dan penelaan dibagi dalam bentuk bab per bab, sehingga analisis dan pembahasannya terarah pada permasalahan sebagaimana dikemukakan pada rumusan masalah.
Untuk memperoleh gambaran umum, secara ringkas keseluruhan materi yang dibahas dalam laporan ini diuraikan dalam komposisi bab sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Merupakan bab yang memberikan gambaran umum meliputi: Latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan tentang pengertian-pengertian yang menyangkut transportasi dan manajemen transportasi jalan raya.
Bab III : Studi Kasus
Merupakan bab yang memberikan gambaran mengenai keadaan lokasi penelitian atau wilayah studi.


Bab V : Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan masalah dan saran-saran yang diberikan untuk peningkatan kualitas lalu lintas di wilayah studi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


1. Pengertian Transportasi
Menurut Setijowarno dan Frazilla (2001) transportasi adalah suatu kegiatan untuk memindahkan sesuatu (orang dan atau barang) dari suatu tempat ke tempat lain, baik dengan atau tanpa sarana (kendaraan, pipa, dan lain-lain).
UU RI Nomor 14 Tahun 1992 mendefinisikan transportasi sebagai memindahkan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Selanjutnya yang dimaksud kendaraan dalam UU RI Nomor 14 Tahun 1992 adalah suatu alat yang bergerak di jalan, baik kendaraan bermotor atau tidak bermotor.
(Handayani, R. 2006)
Unsur-unsur dasar transportasi ada lima, yaitu:
a) Manusia, yang membutuhkan transportasi
b) Barang, yang diperlukan manusia
c) Kendaraan, sebagai sarana transportasi
d) Jalan, sebagai prasarana transportasi dan
e) Organisasi.
Transportasi merupakan bagian integral dari suatu fungsi masyarakat. Ia menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan gaya hidup, jangkauan dan lokasi dari kegiatan yang produktif, dan selingan serta barang-barang dan pelayanan yang tersedia untuk dikonsumsi. (Morlok:33)
Perbedaan sifat jasa, operasi, dan biaya pengangkutan membedakan alat angkutan atau moda angkutan dalam lima kelompok sebagai berikut: angkutan kereta api, (rail road railway), angkutan bermotor dan jalan raya (motor/road/highway transportation), angkutan laut (water/sea transportation), angkutan udara (air transportation), dan angkutan pipa (pipeline). (Nur Nasution:26).

2. Transportasi Jalan Raya
System lalu lintas jalan pada dasarnya terdiri dari sub-sub system yang antara lain adalah pemakai jalan (pengemudi dan pejalan kaki), sarana angkutan (kendaraan), prasarana jalan dan lingkungan, di mana dalam gerak dinamikanya interaksi dan kombinasi daripada sub-sub system tersebut akan menghasilkan karakteristik daripada pergerakan lalu lintas barang dan penumpang.
System lalu lintas jalan merupakan suatu interaksi antara prasarana (jalan), sarana (kendaraan), dan manusia yang dikendalikan oleh hukum (Undang-Undang dan peraturan-peraturan).
(Badan Pendidikan dan Latihan Perhubungan Pusat Pendidikan dan Latihan Perhubungan Darat, 1997:1-2)

3. Prasarana Jalan
Menurut Siregar (1981) jalan raya adalah prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan palengkap dan pelengkapnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan, orang dan hewan, sehingga pengertian jalan tidak hanya terbatas pada jalan konvensional (tanah), akan tetapi termasuk juga jalan yang melintasi sungai besar/danau/laut, di bawah permukaan tanah dan air (terowongan) dan di atas permukaan tanah (jalan laying). Bagian pelengkap jalan adalah bangunan yang tidak dapat dipisahkan dari jalan, seperti jembatan, pontoon, tempat parker, sedangkan perlengakapan jalan adalah rambu-rambu lalu lintas, tanda-tanda jalan, pagar pengaman lalu lintas, dan lain-lain.
(Handayani, R. 2006)
Jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik, social, budaya, dan pertahanan keamanan serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di samping itu, jalan mempunyai peranan untuk mendorong pengembangan semua Satuan Wilayah Pengembangan dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata. Oleh karena itu, jalan merupakan suatu kesatuan system jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hirarki.
3.1 Jaringan Jalan
Jaringan merupakan suatu konsep matematik yang digunakan untuk menggambarkan prasarana jalan. Jaringan jalan mempunyai dua elemen, yaitu ruas jalan (link) dan simpul (node). Dalam jaringan jaan biasanya diadakan pembedaan antara berbagai kelas/klasifikasi jalan.
a. Kelas Jaringan Berdasarkan Wewenang Pembinaannya
Berdasarkan wewenang pembinaan jalan, kelas jaringna jalan dapat dibedakan ke dalam 6 kelas jalan, yaitu:
a) Jalan Nasional adalah jalan umum yang wewenang pambinaannya dilakukan oleh Menteri.
b) Jalan Provinsi adalah jalan umum yang wewenang pembinaannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Pemerintah Daerah Tingkat I dengan memperhatikan pendapat Menteri.
c) Jalan Kabupaten adalah jalan umum yang wewenang pembinaannya dilakukan oleh Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usus Pemerintah Daerah Tingkat II bersangkutan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
d) Jalan Kota Madya adalah jalan umum yang wewenang pembinaanya dilakukan oleh Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usus Pemerintah Daerah Kota Madya bersangkutan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
e) Jalan Desa adalah jalan umum yang wewenang pembinaannya dilakukan oleh keputusan Pemerintah Daerah Tingkat II bersangkutan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
f) Jalan Khusus adalah jalan yang dibangun/dipelihara oleh instansi/perorangan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
b. Kelas Jaringan Jalan Berdasarkan Peranan/Fungsinya.
Menurut peran dan fungsinya serta persyaratan jalan, jalan terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
• Jalan arteri
Adalah jalan melayani angkutan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
• Jalan arteri primer, menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.
 Kecepatan rencana > 60 km/jam
 Lebar badan jalan minimal 8 meter.
 Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata.
 Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal.
 Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan dapat tercapai.
 Jalan persimpangan dengan pengaturan tertentu tidak mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan.
 Jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
• Jalan arteri sekunder, menghubungkan kawasan primer dengan sekunder kesatu atau kawasan kesatu dengan kawsan sekunder kedua.
 Kecepatan rencana > 30 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 8 meter.
 Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
 Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat.
 Persimpangan dengan pengaturan tertentu, tidak mengurangi kecepatan dan kapasitas jalan.
b) Jalan kolektor
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
• Jalan kolektor primer, menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.
 Kecepatan rencana > 40 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 7 meter.
 Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-rata.
 Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan.
 Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
• Jalan kolektor sekunder, menghubungkan kawasan sekunder dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
 Kecepatan rencana minimal 20 km/jam.
 Lebar jalan minimal 7 meter.
c) Jalan lokal
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
• Jalan lokal primer, menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau jenjang kedua dengan persil, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di bawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil atau kota di bawah kota jenjang ketiga sampai persil.
 Kecepatan rencana > 20 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 6 meter.
 Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa.
• Jalan lokal sekunder, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan atau kawasan sekunder ketiga dan seterusnya dengan perumahan.
 Kecepatan rencana > 10 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 5 meter.
 Lebar badan jalan tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih, minimal 3,5 meter.
 Persyaratan teknik tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih.
c. Kelas Jaringan Jalan Berdasarkan Kemampuan Daya Dukung Jalan
a) Jalan Kelas I yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 18 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan >10 ton.
b) Jalan Kelas II yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 18 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 10 ton.
c) Jalan Kelas III A yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 18 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton.
d) Jalan Kelas III B yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 12 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton.
e) Jalan Kelas III C yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,1 m, panjang tidak melebihi 9 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton.
(Badan Pendidikan dan Latihan Perhubungan Pusat Pendidikan dan Latihan Perhubungan Darat, 1997:3-6 – 3-11)
4. Sarana/Moda
4.1 Klasifikasi Kendaraan Bermotor
Kendaraan pada dasarnya dibuat untuk memenuhi salah satu dari 3 kegunaan dasar angkutan, yaitu:
a) Angkutan pribadi, adalah transportasi untuk masing-masing individu dan keluarga yang memiliki kedaran yang digunakan untu keperluan pribadi mereka; termasuk didalam kategori ini adalah kendaraan yang bukan milik pribadi tetapi digunakan secara pribadi, misalnya kendaraan perusahaan, kendaraan yang disediakan untuk pegawai pemerintah, dan bis pegawai.
b) Angkutan umum, angkutan yang tersedia untuk umum yang membayar ongkos untuk menggunakan kendaraan tersebut. Angkutan umum dapat merupakan moda angkutan lain, khususnya angkutan jalan rel, dan juga angkutan air (ferry) dan angkutan udara.
c) Ankutan barang, adalah untuk memuat segala jenis barang, dari yang kecil dan bernilai tinggi hinggi yang besar dan bersifat barang curah, dari makanan dan binatang hingga barang cair dan mineral, dsb.
4.2 Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenisnya
Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis yaitu:
a) Sepeda Motor, adalah setiap kendaraan bermotor yang berdua dua.
b) Mobil Penumpang, yaitu kendaraan bermotor yang semata-mata diperlengkapi dengan sebanyak-banyaknya 8 tempat duduk, tidak termasuk tempat duduk pengemudinya, baik dengan atau tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.
c) Mobil Bus, adalah kendaraan bermotor yang diperlengkapi dengan lebih dari 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan barang.
d) Mobil Barang, adalah kendaraan bermotor selain dari ada yang termasuk dalam definisi mobil penumpang, mobil bus, dan selain kendaraan bermotor beroda dua.
e) Mobil Kendaraan Khusus, adalah kendaraan bermotor selain daripada kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor untuk barang yang digunakan untuk keperluan khusus atau mengangkut muatan khusus.
4.3 Pembagian Kendaraan Bermotor Menurut Berat Dan Dimensinya
a) Pembagian kendaraan bermotor berdasarkan panjang Maksimum yang diizinkan oleh pemerintah untuk setiap jenis kendaraan adalah sebagai berikut:
• Mobil Bis : 12 m
• Mobil Barang tanpa kereta gandengan : 9 m
• Mobil Barang dengan kereta gandengan : 16,5 m
• Mobil Barang dengan kereta tempelan : 15,5 m
• Mobil Penumpang : 6 m
• Panjang maximum kereta gandengan bersumbu satu : 5 m
b) Ketentuan dan peraturan panajng muatan menjorok, lebar dan tinggi yang diizinkan adalah sebagai berikut :
• Kebelakang tidak boleh melebihi 2 meter dari sisi belakang kendaraan.
• Kedepan tidak boleh melampaui kaca depan.
• Lebar maksimal 2,5 m dan,
• Tinggi maksimal 3,5 m.
c) Ketentuan dan peraturan panjang muatan menjorok, lebar dan tinggi yang diizinkan adalah sebagai berikut :
• Kebelakang tidak boleh melebihi 2 meter dari sisi belakang kendaraan.
• Kedepan tidak boleh melampaui kaca depan.
• Lebar maksimal 2,5 m dan
• Tinggi maksimal 3,5 m
d) Untuk panjang rangkaian kendaraan penarik (tractor Head) dan kereta tempelan maksimum adalah 17,5 meter, lebar kendaraan maksimum 2,5 meter dan tinggi maksimum 4 meter.
e) Untuk mobil kendaraan khusus yang beroperasi di jalan pada prinsipnya harus memenuhi persyaratan teknik dan lain jalan sesuai ketentuan yang berlaku.
f) Untuk pembagian kendaraan bermotor berdasarkan berat/muatan sumbu terberat (MST) dikelompokan menjadi 3 kelas yaitu :
• Kendaraan bermotor dengan muatan sumbu = 10 ton
• Kendaraan bermotor dengan muatan sumbu = 8 ton
• Kendaraan bermotor dengan muatan sumbu = < 8 ton, yang masih dibagi menjadi kelas 5 ton.
4.4 Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenis dan Muatan Sumbu Terberat (MST).
a) Klasifikasi kendaraan bermotor menurut jenisnya berdasarkan klasifikasi kendaran bermotor menurut muatan sumbunya dan dengan tidak memperhitungkan kereta tempelan dan kereta gandengan, yaitu :
• Mobil penumpang dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.1) mempunyai MST kendaraan kurang dari 3,5 ton.
• Mobil Bus di bedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
 Mobil bus sedang dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan 8 ton.
 Mobil bus besar dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan 10 ton.
• Mobil barang dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu :
 Mobil barang ringan dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.1) mempunyai MST kendaraan kurang dari 3,5 ton.
 Mobil barang sedang dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan 5-8 ton.
 Mobil barang berat dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan sama dengan 10 ton.
 Mobil barang berat dengan sumbu tandem (jenis sumbu 1.22) mempunyai MST kendaraan lebih besar dari 10 ton.
• Mobil kendaraan khusus dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu :
 Mobil kendaraan khusus ringan dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.1) mempunyai MST kendaraan kurang dari 3,5 ton.
 Mobil kendaraan khusus sedang dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan 5-8 ton.
 Mobil kendaraan khusus berat dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan sama dengan 10 ton.
 Mobil kendaraan khusus berat dengan sumbu tandem (jenis sumbu 1.22) mempunyai MST kendaraan lebih besar dari 10 ton.
(Badan Pendidikan dan Latihan Perhubungan Pusat Pendidikan dan Latihan Perhubungan Darat, 1997:4-2 – 4-7)
5. Pelengkap Jalan
5.1 Marka Jalan
Menurut Setijowarno dan Frazila (2001) Marka Jalan (road marking) adalah suatu tanda di atas permukaan dan bahu jalan yang terdiri dari garis berbentuk memanjang (membujur) dan melintang termasuk symbol, huruf, angka atau tanda-tanda lainnya, kecuali rambu dan lampu lalu lintas. Marka jalan berfungsi mengatur, mengarahkan, dan menyalurkan lalu lintas kendaraan ataupun untuk memperingatkan atau menuntun pemakai jalan.isong satu atau beberapa memotu at melintang
Bentuk marka jalan sebagaimana dimaksud dalam pengertian marka jalan adalah sebagai berikut:
a) Marka membujur atau memanjang yaitu marka yang terdiri dari garis memanjang kearah gerak lalu lintas yang berupa garis penuh (uth) dan garis putus-putus
b) Marka melintang yang terdiri dari garis melintang atau memotong satu atau beberapa jalur lalu lintas yang dapat berupa garis penuh dan atau putus-putus.
c) Marka bentuk lain seperti panah, garis sejajar atau seorang, atau tulisan yang boleh digunakan untuk mengulangi petunjuk yang diberikan oleh rambu atau untuk menyampaikan pemberitahuan kepada pemakain jalan yang dapat dijelaskan dengan sempurna oleh rambu.
Fungsi utama dari adanya marka jalan adalah: 1) meningkatkan keselamatan lalu lintas, 2) menghindarkan atau mengurangi kemacetan, 3) menunjukkan arah, 4) mendukung pola kebijaksanaan pengendalian (sirkulasi) arus lalu lintas.


Marka jalan menurut bentuknya:
a) Garis putus-putus.
b) Garus penuh.
c) Tempat penyeberangan jalan (zebra cross) pada lokasi.
d) Chevron yang dipasang di daerah sebelum dan atau sesudah adanya penghalang yang berfungsi sebagai pengaruh lalu lintas.
e) Marka pada pulau pada persimpangan dipasang sebagai pengarah kendaraan yang berbelok sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas.
f) Garis larangan berhenti.
g) Marka pengarah jalur.
(Handayani, R. 2006)
5.2 Perparkiran
Ketiadaan pelataran parkir di kawasa tertentu dalam kota sudah pasti berakibat berkurangnya lebar jalan di tempat tersebut. Kendaraan diparkir di pinggir jalan, naik ke bahu jalan, atau menyerobot sebagian kaki lima (trotoar) sehingga jelas mengurangi daya tampung jalan tersebut. Kesulitannya, makin besar jumlah kendaraan, makin besar pula kebutuhan akan pelataran parkir. Sebagai gambaran, dengan hanya memarkir tiga kendaraan pada suatu ruas jalan sepanjang 1 km sudah berarti mengurangi lebar jalan yang semula 5,5 m menjadi 4,6 m.
Luas yang dibutuhkan untuk pelataran parkir bergantung pada dua hal pokok, yaitu ukuran kendaraan yang diperkirakan parkir dan sudut parkir. Sudut parkir yang umumnya digunakan adalah 0, 30, 45, 60 dan 90. Panjang dan lebar petak parkir serta daya tampung panjang ruas jalan yang dibutuhkan terdapat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2.

TABEL 2.1
PERMUKAAN JALAN YANG DIBUTUHKAN UNTUK PARKIR DALAM BERBAGAI KEDUDUKAN SUDUT PARKIR PADA SATU SISI JALAN
Lebar petak Sudut parkir Lebar jalan untuk parkir Lebar jalan untu parkir dan gerak kendaraan Panjang sisi jalan per petak
(per kendaraan) Jumlah kendaraan yang dapat diparkir pada jalan sepanjang
Cm  Cm cm Cm 30,5 m 100 m
214 sejajar 214 519 671 4,5 14,8

244 30 500 790 519 5,7 19,1
45 561 927 345 8,2 26,9
60 598 1177 281 9,5 31,2
90 549 1403 244 12,5 41

259 30 500 793 519 5,7 -
45 570 900 366 7,8 25,6
60 604 1152 299 9,5 31,2
90 549 1311 260 11,5 37,7

275 30
45 583 918 388 7,37 24,2
60 610 1128 317 9,0 29,5
90 549 1250 275 11,1 36,4
TABEL 2.2
KAPASITAS PARKIR DI JALAN
Lebar petak Sudut parkir Lebar jalan untuk parkir Lebar jalan untuk parkir dan gerak kendaraan Panjang sisi jalan per petak (per kendaraan) Jumlah kendaraan yang dapat diparkir pada jalan sepanjang
Cm  Cm Cm Cm 60 m 100 m
250 0 250 500 650 10 15,3
30 470 750 500 11,7 19,7
45 530 850 354 16,4 27,7
60 560 1100 290 20 33,8
90 500 1200 250 24 40
Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990













GAMBAR 2.1
KEDUDUKAN PARKIR






















Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990

6. Tingkat Kelayakan/Pelayanan Jalan Raya
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan aktivitas di perkotaan yang pesat, tuntutan penyediaan akan prasarana pendukung juga semakin tinggi dan kompleks. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari permintaan akan pelayanan yang tinggi. Namun demikian, seringkali terjadi pertumbuhan permintaan yang tidak seimbang dengan kemampuan penyediaan akan prasarana yang dibutuhkan sehingga seringkali terjadi penggunaan prasarana ‘melebihi’ kapasitas. Kelebihan permintaan sebagai akibat adanya perkembangan aktivitas tersebut menyebabkan pemerintah sebagai pihak yang mengadakan prasarana pendukung, menanggung dampak biaya bagi pengadaan atau peningkatan kapasitas prasarana tersebut. Sehubungan dengan hal itu, maka pembiayaan akan dampak yang diakibatkan oleh suatu kegiatan dapat dibebankan kepada pihak yang menjadi penyebab langsung dampak tersebut. Hal ini sesuai dengan Coase Theorem yang menyatakan bahwa suatu negosiasi dapat saja dilakukan oleh pihak pemerintah dalam upaya menanganai masalah eksternalitas yang disebabkan langsung oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Sebagai gambaran dari hal tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah contoh sederhana berikut. Suatu ruas jalan di bagian wilayah kota memiliki kapasitas 4500 smp/jam. Ketika jalan tersebut baru saja didirikan/diperbaharui volume lalu lintas yang melewati jalan tersebut pada jam puncak mencapai 3000 smp/jam. Derajat pelayanan jalan tersebut berada pada tingkat yang tinggi (rasio V/C = 0,67). Dengan adanya pembangunan perumahan yang hampir seluruhnya memiliki akses langsung ke jalan tersebut pada satu rentang waktu mengakibatkan tambahan pergerakan/bangkitan menjadi 3900 smp/jam. Di sini terjadi penurunan derajat pelayanan jalan dengan rasio V/C = 0,87. Pada tingkat pelayanan ini mulai dirasakan adanya hambatan dalam perjalanan. Pada rentang waktu berikutnya, terjadi perkembangan guna lahan perumahan yang cukup pesat dan menambah bangkitan perjalanan dari guna lahan tersebut sehingga volume lalu lintas pada waktu puncak bertambah menjadi 4550 smp/jam dan rasio V/C = 1,01. Dalam keadaan ini kapasitas pelayanan jalan telah terlampaui sebagai akibat adanya tambahan volume lalu lintas yang dibangkitkan guna lahan tersebut. Kondisi yang terakhir ini menunjukan kemacetan lalu lintas, dalam hal ini pihak terakhirlah (pengembang perumahan) yang dapat dikenai biaya dampak kemacetan lalu lintas.
Dalam menunjang upaya pemerintah mengusahakan prasarana jalan bagi masyarakat, dapat pula dilibatkan pihak swasta. Tentunya, prasarana yang dimaksudkan diatas selain memberikan keuntungan sosial harus pula memberikan keuntungan ekonomi.
Meskipun suatu barang dan jasa publik dialihkan pengadaanya kepada pihak swasta yang berkepentingan langsung terhadapnya, sifat dan klasifikasi barang dan jasa tersebut tetap digolongkan kepada barang dan jasa publik. Pihak swasta hanya dapat diikutsertakan dalam hal pengadaan, pengopersian, dan pemeliharaan tahap awal, untuk selanjutnya dialihkan kepada pihak pemerintah daerah.
Menurut Suryadharma dkk (1999) cirri-ciri tingkat kelayakan jalan raya adalah:
6.1 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan A
a) Arus lalu lintas bebas tanpa adanya hambatan
b) Volume dan kepadatan lalu lintas terencana
c) Kecepatan merupakan factor pilihan oleh pengemudi
6.2 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan B
a) Arus lalu lintas masih dalam keadaan stabil
b) Kecepatan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, tetapi masih sesuai dengan keinginan pengemudi
6.3 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan C
a) Arus lalu lintas masih dalam keadaan stabil
b) Kecepatan sudah dipengaruhi oleh besarnya volume, sehingga tidak kecepatan yang diinginkan
6.4 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan D
a) Arus lalu lintas sudah tidak stabil lagi
b) Perubahan volume lalu lintas sangat dipengaruhi besarnya kecepatan
6.5 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan E
a) Arus lalu lintas sudah tidak stabil lagi
b) Volume kira-kira sama dengan kapasitasnya
6.6 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan F
a) Sering terjadi kemacetan
b) Arus lalu lintas rendah
TABEL 2.3
STANDAR TINGKAT PELAYANAN JALAN ( LEVEL OF SERVICE )
LOS DESKRIPSI ARUS KECEPATAN
(Km/Jam) V/C
A Arus bebas bergerak > 50  0,40
B Arus stabil, tidak bebas 40 - 50  0,58
C Arus stabil, kecepatan terbatas 32 - 40  0,80
D Arus mulai tidak stabil 27 - 32  0,90
E Arus tidak stabil, kadang macet 24 - 27  1,00
F Macet, antrian panjang < 24  1,00
Sumber: CBD Traffic Study, BUTP, 1989

Pada Tabel 2.3 ditunjukan bahwa kecepatan tempuh pada ruas jalan di pusat kota Bandung dan sekitarnya tergolong tertinggi pada rasio V/C kurang atau sama dengan 0,40 dengan kecepatan gerak minimal 50 km/jam. Adanya penambahan volume sekitar 45 % menurunkan derajat pelayanan menjadi tingkat pelayanan kedua, untuk selanjutnya penambahan volume dengan persentase kurang dari 45 % menurunkan derajat pelayanan menjadi satu tingkat di bawahnya. Adapun grafik yang menggambarkan hubungan antara volume pergerakan dengan kecepatan tempuh dalam kondisi normal dan macet (forced flow) dapat dilihat pada Gambar 2.3.
GAMBAR 2.3
HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN DAN ARUS KENDARAAN

Kec. Operasi

LOS A
LOS B
LOS C

LOS D
LOS E


LOS F
0 Rasio Kecepatan per Kapasitas 1,0
Sumber: Handayani, R. 2006

7. Kapasitas Lalu-lintas
Menurut (Suryadharma, 1999) kapasitas jalan adalah kemampuan suatu jalan yang menerima beban lalu lintas atau jumlah kendaraan maksimal yang dapat melewati suatu penampang melintang jalan pada jalur jalan selama satu jam dengan kondisi serta arus lalu lintas saat tertentu.
Kapasitas jalan terdiri dari tiga golongan, yaitu:
a) Kapasitas dasar, adalah kapasitas jalan dalam kondisi ideal.
b) Kapasitas rencana, adalah kapasitas yang digunakan untuk perencanaan.
c) Kapasitas yang mungkin dengan memperhatikan terciptanya percepatan dan perlambatan (Suryadharma, 1999).
(Handayani,R. 2006)
Kapasitas lalu lintas, dalam hal ini kapasitas jalan, bergantung pada kondisi yang ada. Kondisi-kondisi tersebut diantaranya:
a) Sifat fisik jalan (seperti lebar jalan, jumlah dan tipe persimpangan, permukaan jalan, dan lain-lain).
b) Komposisi lalu lintas dan kemampuan kendaraan (seperti proporsi berbagai jenis kendaraan).

8. Volume Lalu Lintas
Menurut (Hobbs, 1995) volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui satu titik pengamatan selama periode waktu tertentu atau sebuah peubah (variabel) yang sangat penting pada teknik lalu lintas, yang pada dasarnya merupakan proses perhitungan yang berhubungan dengan jumlah gerakan persatuan waktu pada lokasi tertentu
Menurut (Warpani, 1990) volume lalu lintas yang terjadi pada kawasan perkotaan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah bangkitan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas adalah banyaknya lalu lintas yang ditimbulkan oleh suatu zona atau daerah persatuan waktu. Jumlah lalu lintas tergantung pada kegiatan kota, karena adanya kebutuhan manusia untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dan mengangkut barang kebutuhan.
TABEL 2.4.
CONTOH FAKTOR KONVERSI
TERHADAP SATUAN MOBIL PENUMPANG (SPM)
Jenis Kendaraan Faktor Konversi
Sepeda motor
Mobil penumpang/roda tiga
Truk ringan/mikro bis (<5 ton)
Truk sedang (5-10 ton)
Bis
Truk berat 0,5
1,0
2,0
2,5
3,0
3,5
Sumber : Handayani,R. 2006

9. Rekayasa Manajemen Lalu-Lintas
Rekayasa dan manajemen lalu lintas dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Beberapa cara untuk melakukan hal tersebut diantaranya adalah:
9.1 Perbaikan Sistem Lampu Lalu Lintas dan Jaringan Jalan
Rekayasa dan manajemen lalu lintas dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
a) Pemasangan dan perbaikan sistem lampu lali lintas secara terisolasi dengan maksud untuk mengikuti fluktuasi lalu lintas yang berbeda-beda dalam 1 jam, 1 hari, 1 minggu. Selain itu juga dilakukan secara terkoordinasi yaitu dengan mengatur seluruh lampu lalu lintas secara terpusat. Pengaturan tersebut dapat mengurangi tundaan dan kemacetan. Sistem tersebut juga dikenal dengan nama Area Traffic Control System (ATCS).
b) Penerapan manajemen transportasi, antar lain denagn mengeluarkan kebijakan perparkiran, perbaikan fasilitas pejalan kaki, dan jalur khusus bus. Semua hal tersebut memerlukan berbagai pertimbangan. Hal yang lebih diutamakan adalah pada kemungkinan membatasi kebutuhan akan transportasi dengan beberapa metoda yang dikenal dengan pembatasan lalu lintas. Perlunya pembatasan lalu lintas terhadap penggunaan kendaraan pribadi yang telah diterima oleh para pakar tranportasi sebagai hal yang penting dalam menanggulangi masalah kemacetan di daerah perkotaan.
9.2 Kebijakan Perparkiran
Parkir didefinisikan sebagai tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi keselamatan. Ruang lain dapat digunakan untuk ruang parkir. Parkir mempunyai tujuan yang baik dan akses yang mudah. Jika parkir terlalu jauh dari tujuan, orang akan beralih ke tempat lain. Oleh karena itu tujuan utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan.
Kebijakan perparkiran dilakukan untuk meningkatkan kapasitas jalan yang sudah ada. Penggunaan jalan sebagai tempat parkir jelas memperkecil kapasitas jalan tersebut karena sebagian besar lebar badan jalan digunakan sebagai tempat parkir. Penggunaan parkir yang tidak baik cenderung merupakan penyebab kemacetan karena antrian kendaraan yang menunggu tempat kosong justru menghambat pergerakan lalu lintas.
Kebijakan parkir bukan di badan jalan seperti pembangunan bangunan tempat parkir atau membatasi tempat parkir jelas merupakan jawaban yang sangat tepat karena sejalan dengan usaha mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan mengalihkan penumpang dari angkutan pribadi ke angkutan umum. Pengalihan badan jalan yang pada mulanya digunakan sebagi tempat parkir menjadi lajur khusus bus juga merupakan jawaban yang sangat tepat. Kebijakan parkir juga menentukan metoda pengontrolan dan pengaturannya. Pelaksanaan pengaturan parkir telah sering dilakukan sejak tahun 1960-an, yang biasanya meliputi:
a) Pembatasan tempat parkir di badan jalan.
b) Merencanakan tempat parkir di luar daerah, seperti park-and-ride.
c) Pengatuaran biaya parkir, dan denda yang sangat tinggi terhadap pelanggar parkir.
9.3 Prioritas Angkutan Umum
Angkutan umum menggunakan prasarana lebih efisien dibandingkan dengan kendaraan pribadi, terutama pada waktu sibuk. Terdapat dua jenis ukuran agar pelayanan angkutan umum lebih baik:
a) Perbaikan operasi pelayanan, frekuensi, kecepatan dan kenyamanan.
b) Perbaikan sarana penunjang jalan, seperti:
• Penentuan lokasi dan desain tempat pemberhentian dan terminal yang baik, terutama dengan adanya moda transportasi yang berbeda-beda seperti antara transportasi antar kota dan transportasi perkotaan.
• Pemberian prioritas yang lebih tinggi pada angkutan umum. Teknik yang sering digunakan adalah prioritas bus, lampu lalu lintas, tempat pemberhentian taksi dan lain-lain.
Untuk merangsang agar masyarakat menggunakan angkutan umum, hal utama yang perlu diperhatikan adalah pejalan kaki. Perjalanan dengan angkutan umum selalu diawali dan diakhiri dengan berjalan kaki. Jadi jika fasilitas pejalan kaki tidak disediakan dengan baik, masyarakat tidak akan pernah menggunakan angkutan umum. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah masalah fasilitas, kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki.

BAB III
TINJAUAN LOKASI/STUDI KASUS


1. Administrasi
Secara Administarsi wilayah studi atau kajian kami terletak di Kelurahan Sinri Jala Kecamatan Panakukang Kota Makassar. Kelurahan Sinri Jala secara administrasi berada antara;
a) Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kariwisi Utara
b) Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Karampuang
c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tammamaung
d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Karuwisi

2. Keadaan Lalu lintas
2.1 Lebar Jalan
Jalan yang merupakan prasarana transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka tersebut, jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan seperti pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ruas jalan AP.Pettarani yang merupakan wilayah studi merupakan jalan dengan fungsi sebagai jalan arteri dengan lebar 24 Meter.
2.2 Fasilitas Jalan
Yang dimaksud dengan fasilitas jalan disini adalah segala sesuatu fasilitas yang ada di sekitar jalan yan dapat membantu akan keberadaan jalan tersebut. Fasilitas jalan tersebut diantaranya; Sebra Cross, Trotoar, Lampu jalan, jalur hijau, dan lainnya.
a) Sebra Cross
Pada wilayah studi kami ini (jalan A.P.Pettarani, kelurahan Macini) belum disediakan sarana berupa sebra cross. Ini sangat sangat disayangkan mengingat di daerah ini merupakan tempat transit kendaraan (pete-pete) sehingga akan menimbulkan banyaknya orang yang akan menyebrang di jalan ini.
b) Trotoar
Untuk sarana yang satu ini (trotoar) juga belum tersedia di kawasan wilayah studi kami ini. Namun kami melihatnya bahwa ini masih dalam taraf pengadaan mengingat daerah ini masih dalam masa pembangunan sehinga untuk kedepannya masih sangat mungkin untuk di adakan.
c) Lampu Jalan
Untuk lampu jalan sudah sanagat mencukupi untuk menerangai wilayah jalan A.P. Petarani pada umumnya maupun wilayah studi kami pada khususnya. Ini bias dibuktikan dengan kuantitas dan kualitas penerangannya yang sudah sangat layak dipakai pada jala sekelas jalan A.P. Pettarani.
d) Jalur Hijau
Pada jalur ini sudah ada jalur hijau yang mebagi jalan ini menjadi dua jalur dengan lebar 2 meter.
e) Rambu-rambu
Rambu-rambu yang berupa tanda belok dan tanda penyebrangan yang memang keberadaannya sangat diperluan mengingat banyaknya belokan di jalan ini.

3. Tata Guna Lahan
Transportasi dan tata guna lahan berhubungan sangat erat, sehingga biasanya dianggap membentuk satu landuse transport system. Agar tata guna lahan dapat terwujud dengan baik maka kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik. Sistem transportasi yang macet tentunya akan menghalangi aktivitas tata guna lahannya. Sebaliknya, tranportasi yang tidak melayani suatu tata guna lahan akan menjadi sia-sia, tidak termanfaatkan.
Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh negara-negara yang telah maju (developed) dan juga oleh negara-negara yang sedang berkembang (developing) seperti Indonesia baik di bidang transportasi perkotaan (urban) maupun transportasi antar kota (regional). Terciptanya suatu sistem transportasi atau perhubungan yang menjamin pergerakan manusia dan/atau barang secara lancar, aman, cepat, murah dan nyaman merupakan tujuan pembangunan di sektor perhubungan (transportasi).
Sistem transportasi antar kota terdiri dari berbagai aktivitas, seperti industri, pariwisata, perdagangan, pertanian, pertambangan dan lain-lain. Aktivitas tersebut mengambil tempat pada sebidang lahan (industri, sawah, tambang, perkotaan, daerah pariwisata dan lain sebagainya). Dalam pemenuhan kebutuhan, manusia melakukan perjalanan antara tata guna tanah tersebut dengan menggunakan sistem jaringan transportasi.
Beberapa interaksi dapat dilakukan dengan telekomunikasi, seperti telepon, faksimili atau surat. Akan tetapi hampir semua interaksi yang terjadi memerlukan perjalanan dan oleh sebab itu akan menghasilkan pergerakan arus lalu lintas.
Sasaran umum dari perencanaan transportasi adalah membuat interaksi menjadi semudah dan seefisien mungkin (Jurnal PWK No. 3, 1997:37). Sebaran geografis antara tata guna tanah (sistem kegiatan) serta kapasitas dan lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabung untuk mendapatkan volume dan pola lalu lintas (sistem pergerakan). Volume dan pola lalu lintas pada jaringan transportasi akan mempunyai efek feedback atau timbal balik terhadap lokasi tata guna tanah yang baru dan perlunya peningkatan prasarana.
Hubungan dasar antara sistem kegiatan, sistem jaringan dan sistem pergerakan disatukan dalam beberapa urutan konsep seperti yang terlihat dalam gambar 2.2. Konsep tersebut yang dijadikan dasar peramalan kebutuhan pergerakan yang bersama dengan kondisi jaringan dapat diketahui kinerja dari jaringan jalan bersangkutan. Konsep perencanaan transportasi biasanya dilakukan secara berturut sebagai berikut :
a) Aksesibilitas
Suatu ukuran potensial atau kesempatan untuk melakukan perjalanan. Konsep tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi problem yang terdapat dalam sistem transportasi dan mengevaluasi solusi-solusi alternatif.
b) Pembangkit lalu lintas
Besaran perjalanan yang dibangkitkan oleh tata guna tanah.
c) Sebaran pergerakan
Besaran perjalanan secara geografis di dalam daerah perkotaan.
d) Pemilihan moda transportasi
Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi untuk suatu tujuan perjalanan tertentu.
e) Pemilihan rute
Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan rute antara zona asal dan tujuan.
f) Hubungan antar waktu, kapasitas dan arus lalu lintas
Waktu tempuh perjalanan sangat dipengaruhi oleh kapasitas ruas jalan yang ada dan jumlah arus lalu lintas yang menggunakannya.
Secara tata guna lahan kami melihatnya bahwa jalur ini berpotensi untuk menjadi bangkitan, mengingat bahwa sepanjang daerah jalan A.P.Pettarani merupakan wilayah perkantoran yang mengakibatkan banyak kendaraan terutama kendaraan sedan dan motor. Hal lain juga bahwa jalur ini merupakan jalur utama menuju pusat kota Makassar.
Keberadaan alih fungsi lahan yang berubah dari perkantoran menjadi areal perdagangan seperti yang tejadi di sepanjang jalan A.P.Pettarani juga berpotensi besar membangitkan aktivitas yang sangat besar di jalur ini.
(http://planol09i.blogspot.com/2011/04/managemen-transportasi.html)



















DAFTAR PUSTAKA

Badan Pendidikan dan Latihan Perhubungan Pusat Pendidikan dan Latihan Perhubungan Darat. 1997. Rekayasa Lalu Lintas.

Handayani, R. 2006. Transportasi Jalan Raya Yokyakarta Studi Kasus Kepadatan dan Pertumbuhan Trafik di Jalan Gejayan, Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Parangtritis Tahun 2005. Diambil di http//:www.scribd.com/doc/14095084/Kepadatan-Transportasi-Jalan-Raya pada tanggal 30 Maret 2011, pukul 17.15 WITA.

Management Transportasi. Diambil di :
http://planol09i.blogspot.com/2011/04/managemen-transportasi.html pada tanggal 6 April 2011, pukul 21.50 WITA

Morlok, Edward K. 1995. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Jakarta: Penerbit Erlangga

Nasution, M. Nur. 2004. Manajemen Transportasi. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia
04.45 | Author: Sani KhyЯuel
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Perkembangan suatu kota sangat dipengaruhi oleh perkembangan system transportasi di kota tersebut. Suatu sistem haruslah berjalan baik sepanjang waktu. Makin meningkatnya kegiatan penduduk suatu daerah, maka makin menungkat pula pergerakan manusia, barang dan jasa sehingga kebutuhan akan jasa transportasi akan meningkat pula. Karena itu pemenuhan kebutuhan transportasi perlu terus ditingkatkan untuk menunjang pergerakan manusia, barang maupun jasa.
Suatu kota yang berpenduduk dalam jumlah besar dan mempunyai kegiatan perkotaan yang luas memerlukan pelayanan transportasi berkapasitas tinggi dan ditata secara terpadu. Oleh karena itu pada dasarnya transportasi merupakan Devired Demand artinya permintaan akan jasa transportasi timbul dari kebutuhan sector-sektor lain.
Kota yang baik dapat ditandai antara lain dengan melihat kondisi transportasinya. Sektor transportasi harus mampu memberikan kemudahan bagi seluruh masyarakat dalam segala kegiatannya di semua lokasi yang berbeda dan tersebar dengan karakteristik fisik yang berbeda pula. Dengan kata lain, setiap wilayah kota harus dapat dijangkau oleh system pelayanan angkutan umum yang ada, untuk itu kebutuhan transportasi harus seimbang dengan penyediaan prasarana dan didukung oleh sistem jaringan jalan dengan tingkat pelayanan yang memadai.
Lalu lintas dan jaringan jalan memiliki peranan yang sangat penting sehingga penyelenggaraannya dan pembinaannya dikuasai oleh Negara dan swasta dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan jaringan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib,teratur, nyaman dan efisien. Disamping itu untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penggunaan dan pemanfaatan jalan, diperlukan pula adanya ketentuan-ketentuan bagi pemerintah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perencanaan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan.
Kota sebagai simul jasa distribusi, memiliki peranan yang penting dalam memacu perkembangan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi yang cepat akan mengakibatkan perubahan aktifitas kota yang berdampak pada struktur dan karakteristik serta pola penggunaan lahan koa kemidian diikuti oleh pengembangan kota.
Kota Makassar merupakan Ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai luasan sekitar 175,77 Km2 yang dibagi kedalam 14 kecamatan dan 143 kelurahan.
Kota Makassar yang merupakan kota metropolitan, pada saat ini tingat kepadatannya bisa dikatakan sangat tinggi khususnya pada ruas Jl. AP.Pettarani yang pada jam-jam sibuk kendaraan yang berlalu-lalang sangat padat sehingga sering menimbulkan kemacetan.
Hal inilah yang mendasari kami tertarik mengambil ruas Jalan AP. Pettarani sebagai studi kasus yang nantinya dapat menjadi pertimbangan untuk mengatasi masalah lalu lintas yang ada di ruas jalan ini.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian yaitu:
Bagaimana manajemen yang baik untuk diterapkan dalam transportasi jalan raya agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam transportasi perkotaan?




2.1 Tujuan dan Sasaran
a. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mencari dan mengetahui manajemen transportasi pada jalan raya agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan transportasi perkotaan.
b. Sasaran
Sasaran dari diadakannya penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan saran untuk peningkatan kualitas dari pelayanan lalu lintas di wilayah studi.

3. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari laporan ini yang dipakai merupakan susunan, kerangka permasalahan teoritis dan penelaan dibagi dalam bentuk bab per bab, sehingga analisis dan pembahasannya terarah pada permasalahan sebagaimana dikemukakan pada rumusan masalah.
Untuk memperoleh gambaran umum, secara ringkas keseluruhan materi yang dibahas dalam laporan ini diuraikan dalam komposisi bab sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Merupakan bab yang memberikan gambaran umum meliputi: Latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan tentang pengertian-pengertian yang menyangkut transportasi dan manajemen transportasi jalan raya.
Bab III : Studi Kasus
Merupakan bab yang memberikan gambaran mengenai keadaan lokasi penelitian atau wilayah studi.


Bab V : Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan masalah dan saran-saran yang diberikan untuk peningkatan kualitas lalu lintas di wilayah studi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Transportasi
Menurut Setijowarno dan Frazilla (2001) transportasi adalah suatu kegiatan untuk memindahkan sesuatu (orang dan atau barang) dari suatu tempat ke tempat lain, baik dengan atau tanpa sarana (kendaraan, pipa, dan lain-lain).
UU RI Nomor 14 Tahun 1992 mendefinisikan transportasi sebagai memindahkan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Selanjutnya yang dimaksud kendaraan dalam UU RI Nomor 14 Tahun 1992 adalah suatu alat yang bergerak di jalan, baik kendaraan bermotor atau tidak bermotor.
(Handayani, R. 2006)
Unsur-unsur dasar transportasi ada lima, yaitu:
a) Manusia, yang membutuhkan transportasi
b) Barang, yang diperlukan manusia
c) Kendaraan, sebagai sarana transportasi
d) Jalan, sebagai prasarana transportasi dan
e) Organisasi.
Transportasi merupakan bagian integral dari suatu fungsi masyarakat. Ia menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan gaya hidup, jangkauan dan lokasi dari kegiatan yang produktif, dan selingan serta barang-barang dan pelayanan yang tersedia untuk dikonsumsi. (Morlok:33)
Perbedaan sifat jasa, operasi, dan biaya pengangkutan membedakan alat angkutan atau moda angkutan dalam lima kelompok sebagai berikut: angkutan kereta api, (rail road railway), angkutan bermotor dan jalan raya (motor/road/highway transportation), angkutan laut (water/sea transportation), angkutan udara (air transportation), dan angkutan pipa (pipeline). (Nur Nasution:26).

2. Transportasi Jalan Raya
System lalu lintas jalan pada dasarnya terdiri dari sub-sub system yang antara lain adalah pemakai jalan (pengemudi dan pejalan kaki), sarana angkutan (kendaraan), prasarana jalan dan lingkungan, di mana dalam gerak dinamikanya interaksi dan kombinasi daripada sub-sub system tersebut akan menghasilkan karakteristik daripada pergerakan lalu lintas barang dan penumpang.
System lalu lintas jalan merupakan suatu interaksi antara prasarana (jalan), sarana (kendaraan), dan manusia yang dikendalikan oleh hukum (Undang-Undang dan peraturan-peraturan).
(Badan Pendidikan dan Latihan Perhubungan Pusat Pendidikan dan Latihan Perhubungan Darat, 1997:1-2)

3. Prasarana Jalan
Menurut Siregar (1981) jalan raya adalah prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan palengkap dan pelengkapnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan, orang dan hewan, sehingga pengertian jalan tidak hanya terbatas pada jalan konvensional (tanah), akan tetapi termasuk juga jalan yang melintasi sungai besar/danau/laut, di bawah permukaan tanah dan air (terowongan) dan di atas permukaan tanah (jalan laying). Bagian pelengkap jalan adalah bangunan yang tidak dapat dipisahkan dari jalan, seperti jembatan, pontoon, tempat parker, sedangkan perlengakapan jalan adalah rambu-rambu lalu lintas, tanda-tanda jalan, pagar pengaman lalu lintas, dan lain-lain.
(Handayani, R. 2006)
Jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik, social, budaya, dan pertahanan keamanan serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di samping itu, jalan mempunyai peranan untuk mendorong pengembangan semua Satuan Wilayah Pengembangan dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata. Oleh karena itu, jalan merupakan suatu kesatuan system jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hirarki.
3.1 Jaringan Jalan
Jaringan merupakan suatu konsep matematik yang digunakan untuk menggambarkan prasarana jalan. Jaringan jalan mempunyai dua elemen, yaitu ruas jalan (link) dan simpul (node). Dalam jaringan jaan biasanya diadakan pembedaan antara berbagai kelas/klasifikasi jalan.
a. Kelas Jaringan Berdasarkan Wewenang Pembinaannya
Berdasarkan wewenang pembinaan jalan, kelas jaringna jalan dapat dibedakan ke dalam 6 kelas jalan, yaitu:
a) Jalan Nasional adalah jalan umum yang wewenang pambinaannya dilakukan oleh Menteri.
b) Jalan Provinsi adalah jalan umum yang wewenang pembinaannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Pemerintah Daerah Tingkat I dengan memperhatikan pendapat Menteri.
c) Jalan Kabupaten adalah jalan umum yang wewenang pembinaannya dilakukan oleh Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usus Pemerintah Daerah Tingkat II bersangkutan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
d) Jalan Kota Madya adalah jalan umum yang wewenang pembinaanya dilakukan oleh Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usus Pemerintah Daerah Kota Madya bersangkutan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
e) Jalan Desa adalah jalan umum yang wewenang pembinaannya dilakukan oleh keputusan Pemerintah Daerah Tingkat II bersangkutan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
f) Jalan Khusus adalah jalan yang dibangun/dipelihara oleh instansi/perorangan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
b. Kelas Jaringan Jalan Berdasarkan Peranan/Fungsinya.
Menurut peran dan fungsinya serta persyaratan jalan, jalan terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
• Jalan arteri
Adalah jalan melayani angkutan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
• Jalan arteri primer, menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.
 Kecepatan rencana > 60 km/jam
 Lebar badan jalan minimal 8 meter.
 Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata.
 Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal.
 Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan dapat tercapai.
 Jalan persimpangan dengan pengaturan tertentu tidak mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan.
 Jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
• Jalan arteri sekunder, menghubungkan kawasan primer dengan sekunder kesatu atau kawasan kesatu dengan kawsan sekunder kedua.
 Kecepatan rencana > 30 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 8 meter.
 Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
 Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat.
 Persimpangan dengan pengaturan tertentu, tidak mengurangi kecepatan dan kapasitas jalan.
b) Jalan kolektor
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
• Jalan kolektor primer, menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.
 Kecepatan rencana > 40 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 7 meter.
 Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-rata.
 Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan.
 Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
• Jalan kolektor sekunder, menghubungkan kawasan sekunder dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
 Kecepatan rencana minimal 20 km/jam.
 Lebar jalan minimal 7 meter.
c) Jalan lokal
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
• Jalan lokal primer, menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau jenjang kedua dengan persil, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di bawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil atau kota di bawah kota jenjang ketiga sampai persil.
 Kecepatan rencana > 20 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 6 meter.
 Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa.
• Jalan lokal sekunder, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan atau kawasan sekunder ketiga dan seterusnya dengan perumahan.
 Kecepatan rencana > 10 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 5 meter.
 Lebar badan jalan tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih, minimal 3,5 meter.
 Persyaratan teknik tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih.
c. Kelas Jaringan Jalan Berdasarkan Kemampuan Daya Dukung Jalan
a) Jalan Kelas I yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 18 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan >10 ton.
b) Jalan Kelas II yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 18 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 10 ton.
c) Jalan Kelas III A yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 18 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton.
d) Jalan Kelas III B yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 12 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton.
e) Jalan Kelas III C yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,1 m, panjang tidak melebihi 9 m dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton.
(Badan Pendidikan dan Latihan Perhubungan Pusat Pendidikan dan Latihan Perhubungan Darat, 1997:3-6 – 3-11)
4. Sarana/Moda
4.1 Klasifikasi Kendaraan Bermotor
Kendaraan pada dasarnya dibuat untuk memenuhi salah satu dari 3 kegunaan dasar angkutan, yaitu:
a) Angkutan pribadi, adalah transportasi untuk masing-masing individu dan keluarga yang memiliki kedaran yang digunakan untu keperluan pribadi mereka; termasuk didalam kategori ini adalah kendaraan yang bukan milik pribadi tetapi digunakan secara pribadi, misalnya kendaraan perusahaan, kendaraan yang disediakan untuk pegawai pemerintah, dan bis pegawai.
b) Angkutan umum, angkutan yang tersedia untuk umum yang membayar ongkos untuk menggunakan kendaraan tersebut. Angkutan umum dapat merupakan moda angkutan lain, khususnya angkutan jalan rel, dan juga angkutan air (ferry) dan angkutan udara.
c) Ankutan barang, adalah untuk memuat segala jenis barang, dari yang kecil dan bernilai tinggi hinggi yang besar dan bersifat barang curah, dari makanan dan binatang hingga barang cair dan mineral, dsb.
4.2 Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenisnya
Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis yaitu:
a) Sepeda Motor, adalah setiap kendaraan bermotor yang berdua dua.
b) Mobil Penumpang, yaitu kendaraan bermotor yang semata-mata diperlengkapi dengan sebanyak-banyaknya 8 tempat duduk, tidak termasuk tempat duduk pengemudinya, baik dengan atau tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.
c) Mobil Bus, adalah kendaraan bermotor yang diperlengkapi dengan lebih dari 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan barang.
d) Mobil Barang, adalah kendaraan bermotor selain dari ada yang termasuk dalam definisi mobil penumpang, mobil bus, dan selain kendaraan bermotor beroda dua.
e) Mobil Kendaraan Khusus, adalah kendaraan bermotor selain daripada kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor untuk barang yang digunakan untuk keperluan khusus atau mengangkut muatan khusus.
4.3 Pembagian Kendaraan Bermotor Menurut Berat Dan Dimensinya
a) Pembagian kendaraan bermotor berdasarkan panjang Maksimum yang diizinkan oleh pemerintah untuk setiap jenis kendaraan adalah sebagai berikut:
• Mobil Bis : 12 m
• Mobil Barang tanpa kereta gandengan : 9 m
• Mobil Barang dengan kereta gandengan : 16,5 m
• Mobil Barang dengan kereta tempelan : 15,5 m
• Mobil Penumpang : 6 m
• Panjang maximum kereta gandengan bersumbu satu : 5 m
b) Ketentuan dan peraturan panajng muatan menjorok, lebar dan tinggi yang diizinkan adalah sebagai berikut :
• Kebelakang tidak boleh melebihi 2 meter dari sisi belakang kendaraan.
• Kedepan tidak boleh melampaui kaca depan.
• Lebar maksimal 2,5 m dan,
• Tinggi maksimal 3,5 m.
c) Ketentuan dan peraturan panjang muatan menjorok, lebar dan tinggi yang diizinkan adalah sebagai berikut :
• Kebelakang tidak boleh melebihi 2 meter dari sisi belakang kendaraan.
• Kedepan tidak boleh melampaui kaca depan.
• Lebar maksimal 2,5 m dan
• Tinggi maksimal 3,5 m
d) Untuk panjang rangkaian kendaraan penarik (tractor Head) dan kereta tempelan maksimum adalah 17,5 meter, lebar kendaraan maksimum 2,5 meter dan tinggi maksimum 4 meter.
e) Untuk mobil kendaraan khusus yang beroperasi di jalan pada prinsipnya harus memenuhi persyaratan teknik dan lain jalan sesuai ketentuan yang berlaku.
f) Untuk pembagian kendaraan bermotor berdasarkan berat/muatan sumbu terberat (MST) dikelompokan menjadi 3 kelas yaitu :
• Kendaraan bermotor dengan muatan sumbu = 10 ton
• Kendaraan bermotor dengan muatan sumbu = 8 ton
• Kendaraan bermotor dengan muatan sumbu = < 8 ton, yang masih dibagi menjadi kelas 5 ton.
4.4 Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenis dan Muatan Sumbu Terberat (MST).
a) Klasifikasi kendaraan bermotor menurut jenisnya berdasarkan klasifikasi kendaran bermotor menurut muatan sumbunya dan dengan tidak memperhitungkan kereta tempelan dan kereta gandengan, yaitu :
• Mobil penumpang dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.1) mempunyai MST kendaraan kurang dari 3,5 ton.
• Mobil Bus di bedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
 Mobil bus sedang dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan 8 ton.
 Mobil bus besar dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan 10 ton.
• Mobil barang dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu :
 Mobil barang ringan dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.1) mempunyai MST kendaraan kurang dari 3,5 ton.
 Mobil barang sedang dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan 5-8 ton.
 Mobil barang berat dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan sama dengan 10 ton.
 Mobil barang berat dengan sumbu tandem (jenis sumbu 1.22) mempunyai MST kendaraan lebih besar dari 10 ton.
• Mobil kendaraan khusus dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu :
 Mobil kendaraan khusus ringan dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.1) mempunyai MST kendaraan kurang dari 3,5 ton.
 Mobil kendaraan khusus sedang dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan 5-8 ton.
 Mobil kendaraan khusus berat dengan sumbu tunggal (jenis sumbu 1.2) mempunyai MST kendaraan sama dengan 10 ton.
 Mobil kendaraan khusus berat dengan sumbu tandem (jenis sumbu 1.22) mempunyai MST kendaraan lebih besar dari 10 ton.
(Badan Pendidikan dan Latihan Perhubungan Pusat Pendidikan dan Latihan Perhubungan Darat, 1997:4-2 – 4-7)
5. Pelengkap Jalan
5.1 Marka Jalan
Menurut Setijowarno dan Frazila (2001) Marka Jalan (road marking) adalah suatu tanda di atas permukaan dan bahu jalan yang terdiri dari garis berbentuk memanjang (membujur) dan melintang termasuk symbol, huruf, angka atau tanda-tanda lainnya, kecuali rambu dan lampu lalu lintas. Marka jalan berfungsi mengatur, mengarahkan, dan menyalurkan lalu lintas kendaraan ataupun untuk memperingatkan atau menuntun pemakai jalan.isong satu atau beberapa memotu at melintang
Bentuk marka jalan sebagaimana dimaksud dalam pengertian marka jalan adalah sebagai berikut:
a) Marka membujur atau memanjang yaitu marka yang terdiri dari garis memanjang kearah gerak lalu lintas yang berupa garis penuh (uth) dan garis putus-putus
b) Marka melintang yang terdiri dari garis melintang atau memotong satu atau beberapa jalur lalu lintas yang dapat berupa garis penuh dan atau putus-putus.
c) Marka bentuk lain seperti panah, garis sejajar atau seorang, atau tulisan yang boleh digunakan untuk mengulangi petunjuk yang diberikan oleh rambu atau untuk menyampaikan pemberitahuan kepada pemakain jalan yang dapat dijelaskan dengan sempurna oleh rambu.
Fungsi utama dari adanya marka jalan adalah: 1) meningkatkan keselamatan lalu lintas, 2) menghindarkan atau mengurangi kemacetan, 3) menunjukkan arah, 4) mendukung pola kebijaksanaan pengendalian (sirkulasi) arus lalu lintas.


Marka jalan menurut bentuknya:
a) Garis putus-putus.
b) Garus penuh.
c) Tempat penyeberangan jalan (zebra cross) pada lokasi.
d) Chevron yang dipasang di daerah sebelum dan atau sesudah adanya penghalang yang berfungsi sebagai pengaruh lalu lintas.
e) Marka pada pulau pada persimpangan dipasang sebagai pengarah kendaraan yang berbelok sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas.
f) Garis larangan berhenti.
g) Marka pengarah jalur.
(Handayani, R. 2006)
5.2 Perparkiran
Ketiadaan pelataran parkir di kawasa tertentu dalam kota sudah pasti berakibat berkurangnya lebar jalan di tempat tersebut. Kendaraan diparkir di pinggir jalan, naik ke bahu jalan, atau menyerobot sebagian kaki lima (trotoar) sehingga jelas mengurangi daya tampung jalan tersebut. Kesulitannya, makin besar jumlah kendaraan, makin besar pula kebutuhan akan pelataran parkir. Sebagai gambaran, dengan hanya memarkir tiga kendaraan pada suatu ruas jalan sepanjang 1 km sudah berarti mengurangi lebar jalan yang semula 5,5 m menjadi 4,6 m.
Luas yang dibutuhkan untuk pelataran parkir bergantung pada dua hal pokok, yaitu ukuran kendaraan yang diperkirakan parkir dan sudut parkir. Sudut parkir yang umumnya digunakan adalah 0, 30, 45, 60 dan 90. Panjang dan lebar petak parkir serta daya tampung panjang ruas jalan yang dibutuhkan terdapat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2.

TABEL 2.1
PERMUKAAN JALAN YANG DIBUTUHKAN UNTUK PARKIR DALAM BERBAGAI KEDUDUKAN SUDUT PARKIR PADA SATU SISI JALAN
Lebar petak Sudut parkir Lebar jalan untuk parkir Lebar jalan untu parkir dan gerak kendaraan Panjang sisi jalan per petak
(per kendaraan) Jumlah kendaraan yang dapat diparkir pada jalan sepanjang
Cm  Cm cm Cm 30,5 m 100 m
214 sejajar 214 519 671 4,5 14,8

244 30 500 790 519 5,7 19,1
45 561 927 345 8,2 26,9
60 598 1177 281 9,5 31,2
90 549 1403 244 12,5 41

259 30 500 793 519 5,7 -
45 570 900 366 7,8 25,6
60 604 1152 299 9,5 31,2
90 549 1311 260 11,5 37,7

275 30
45 583 918 388 7,37 24,2
60 610 1128 317 9,0 29,5
90 549 1250 275 11,1 36,4
TABEL 2.2
KAPASITAS PARKIR DI JALAN
Lebar petak Sudut parkir Lebar jalan untuk parkir Lebar jalan untuk parkir dan gerak kendaraan Panjang sisi jalan per petak (per kendaraan) Jumlah kendaraan yang dapat diparkir pada jalan sepanjang
Cm  Cm Cm Cm 60 m 100 m
250 0 250 500 650 10 15,3
30 470 750 500 11,7 19,7
45 530 850 354 16,4 27,7
60 560 1100 290 20 33,8
90 500 1200 250 24 40
Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990













GAMBAR 2.1
KEDUDUKAN PARKIR






















Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990

6. Tingkat Kelayakan/Pelayanan Jalan Raya
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan aktivitas di perkotaan yang pesat, tuntutan penyediaan akan prasarana pendukung juga semakin tinggi dan kompleks. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari permintaan akan pelayanan yang tinggi. Namun demikian, seringkali terjadi pertumbuhan permintaan yang tidak seimbang dengan kemampuan penyediaan akan prasarana yang dibutuhkan sehingga seringkali terjadi penggunaan prasarana ‘melebihi’ kapasitas. Kelebihan permintaan sebagai akibat adanya perkembangan aktivitas tersebut menyebabkan pemerintah sebagai pihak yang mengadakan prasarana pendukung, menanggung dampak biaya bagi pengadaan atau peningkatan kapasitas prasarana tersebut. Sehubungan dengan hal itu, maka pembiayaan akan dampak yang diakibatkan oleh suatu kegiatan dapat dibebankan kepada pihak yang menjadi penyebab langsung dampak tersebut. Hal ini sesuai dengan Coase Theorem yang menyatakan bahwa suatu negosiasi dapat saja dilakukan oleh pihak pemerintah dalam upaya menanganai masalah eksternalitas yang disebabkan langsung oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Sebagai gambaran dari hal tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah contoh sederhana berikut. Suatu ruas jalan di bagian wilayah kota memiliki kapasitas 4500 smp/jam. Ketika jalan tersebut baru saja didirikan/diperbaharui volume lalu lintas yang melewati jalan tersebut pada jam puncak mencapai 3000 smp/jam. Derajat pelayanan jalan tersebut berada pada tingkat yang tinggi (rasio V/C = 0,67). Dengan adanya pembangunan perumahan yang hampir seluruhnya memiliki akses langsung ke jalan tersebut pada satu rentang waktu mengakibatkan tambahan pergerakan/bangkitan menjadi 3900 smp/jam. Di sini terjadi penurunan derajat pelayanan jalan dengan rasio V/C = 0,87. Pada tingkat pelayanan ini mulai dirasakan adanya hambatan dalam perjalanan. Pada rentang waktu berikutnya, terjadi perkembangan guna lahan perumahan yang cukup pesat dan menambah bangkitan perjalanan dari guna lahan tersebut sehingga volume lalu lintas pada waktu puncak bertambah menjadi 4550 smp/jam dan rasio V/C = 1,01. Dalam keadaan ini kapasitas pelayanan jalan telah terlampaui sebagai akibat adanya tambahan volume lalu lintas yang dibangkitkan guna lahan tersebut. Kondisi yang terakhir ini menunjukan kemacetan lalu lintas, dalam hal ini pihak terakhirlah (pengembang perumahan) yang dapat dikenai biaya dampak kemacetan lalu lintas.
Dalam menunjang upaya pemerintah mengusahakan prasarana jalan bagi masyarakat, dapat pula dilibatkan pihak swasta. Tentunya, prasarana yang dimaksudkan diatas selain memberikan keuntungan sosial harus pula memberikan keuntungan ekonomi.
Meskipun suatu barang dan jasa publik dialihkan pengadaanya kepada pihak swasta yang berkepentingan langsung terhadapnya, sifat dan klasifikasi barang dan jasa tersebut tetap digolongkan kepada barang dan jasa publik. Pihak swasta hanya dapat diikutsertakan dalam hal pengadaan, pengopersian, dan pemeliharaan tahap awal, untuk selanjutnya dialihkan kepada pihak pemerintah daerah.
Menurut Suryadharma dkk (1999) cirri-ciri tingkat kelayakan jalan raya adalah:
6.1 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan A
a) Arus lalu lintas bebas tanpa adanya hambatan
b) Volume dan kepadatan lalu lintas terencana
c) Kecepatan merupakan factor pilihan oleh pengemudi
6.2 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan B
a) Arus lalu lintas masih dalam keadaan stabil
b) Kecepatan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, tetapi masih sesuai dengan keinginan pengemudi
6.3 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan C
a) Arus lalu lintas masih dalam keadaan stabil
b) Kecepatan sudah dipengaruhi oleh besarnya volume, sehingga tidak kecepatan yang diinginkan
6.4 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan D
a) Arus lalu lintas sudah tidak stabil lagi
b) Perubahan volume lalu lintas sangat dipengaruhi besarnya kecepatan
6.5 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan E
a) Arus lalu lintas sudah tidak stabil lagi
b) Volume kira-kira sama dengan kapasitasnya
6.6 Ciri-Ciri Tingkat Kelayakan F
a) Sering terjadi kemacetan
b) Arus lalu lintas rendah
TABEL 2.3
STANDAR TINGKAT PELAYANAN JALAN ( LEVEL OF SERVICE )
LOS DESKRIPSI ARUS KECEPATAN
(Km/Jam) V/C
A Arus bebas bergerak > 50  0,40
B Arus stabil, tidak bebas 40 - 50  0,58
C Arus stabil, kecepatan terbatas 32 - 40  0,80
D Arus mulai tidak stabil 27 - 32  0,90
E Arus tidak stabil, kadang macet 24 - 27  1,00
F Macet, antrian panjang < 24  1,00
Sumber: CBD Traffic Study, BUTP, 1989

Pada Tabel 2.3 ditunjukan bahwa kecepatan tempuh pada ruas jalan di pusat kota Bandung dan sekitarnya tergolong tertinggi pada rasio V/C kurang atau sama dengan 0,40 dengan kecepatan gerak minimal 50 km/jam. Adanya penambahan volume sekitar 45 % menurunkan derajat pelayanan menjadi tingkat pelayanan kedua, untuk selanjutnya penambahan volume dengan persentase kurang dari 45 % menurunkan derajat pelayanan menjadi satu tingkat di bawahnya. Adapun grafik yang menggambarkan hubungan antara volume pergerakan dengan kecepatan tempuh dalam kondisi normal dan macet (forced flow) dapat dilihat pada Gambar 2.3.
GAMBAR 2.3
HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN DAN ARUS KENDARAAN

Kec. Operasi

LOS A
LOS B
LOS C

LOS D
LOS E


LOS F
0 Rasio Kecepatan per Kapasitas 1,0
Sumber: Handayani, R. 2006

7. Kapasitas Lalu-lintas
Menurut (Suryadharma, 1999) kapasitas jalan adalah kemampuan suatu jalan yang menerima beban lalu lintas atau jumlah kendaraan maksimal yang dapat melewati suatu penampang melintang jalan pada jalur jalan selama satu jam dengan kondisi serta arus lalu lintas saat tertentu.
Kapasitas jalan terdiri dari tiga golongan, yaitu:
a) Kapasitas dasar, adalah kapasitas jalan dalam kondisi ideal.
b) Kapasitas rencana, adalah kapasitas yang digunakan untuk perencanaan.
c) Kapasitas yang mungkin dengan memperhatikan terciptanya percepatan dan perlambatan (Suryadharma, 1999).
(Handayani,R. 2006)
Kapasitas lalu lintas, dalam hal ini kapasitas jalan, bergantung pada kondisi yang ada. Kondisi-kondisi tersebut diantaranya:
a) Sifat fisik jalan (seperti lebar jalan, jumlah dan tipe persimpangan, permukaan jalan, dan lain-lain).
b) Komposisi lalu lintas dan kemampuan kendaraan (seperti proporsi berbagai jenis kendaraan).

8. Volume Lalu Lintas
Menurut (Hobbs, 1995) volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui satu titik pengamatan selama periode waktu tertentu atau sebuah peubah (variabel) yang sangat penting pada teknik lalu lintas, yang pada dasarnya merupakan proses perhitungan yang berhubungan dengan jumlah gerakan persatuan waktu pada lokasi tertentu
Menurut (Warpani, 1990) volume lalu lintas yang terjadi pada kawasan perkotaan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah bangkitan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas adalah banyaknya lalu lintas yang ditimbulkan oleh suatu zona atau daerah persatuan waktu. Jumlah lalu lintas tergantung pada kegiatan kota, karena adanya kebutuhan manusia untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dan mengangkut barang kebutuhan.
TABEL 2.4.
CONTOH FAKTOR KONVERSI
TERHADAP SATUAN MOBIL PENUMPANG (SPM)
Jenis Kendaraan Faktor Konversi
Sepeda motor
Mobil penumpang/roda tiga
Truk ringan/mikro bis (<5 ton)
Truk sedang (5-10 ton)
Bis
Truk berat 0,5
1,0
2,0
2,5
3,0
3,5
Sumber : Handayani,R. 2006

9. Rekayasa Manajemen Lalu-Lintas
Rekayasa dan manajemen lalu lintas dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Beberapa cara untuk melakukan hal tersebut diantaranya adalah:
9.1 Perbaikan Sistem Lampu Lalu Lintas dan Jaringan Jalan
Rekayasa dan manajemen lalu lintas dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
a) Pemasangan dan perbaikan sistem lampu lali lintas secara terisolasi dengan maksud untuk mengikuti fluktuasi lalu lintas yang berbeda-beda dalam 1 jam, 1 hari, 1 minggu. Selain itu juga dilakukan secara terkoordinasi yaitu dengan mengatur seluruh lampu lalu lintas secara terpusat. Pengaturan tersebut dapat mengurangi tundaan dan kemacetan. Sistem tersebut juga dikenal dengan nama Area Traffic Control System (ATCS).
b) Penerapan manajemen transportasi, antar lain denagn mengeluarkan kebijakan perparkiran, perbaikan fasilitas pejalan kaki, dan jalur khusus bus. Semua hal tersebut memerlukan berbagai pertimbangan. Hal yang lebih diutamakan adalah pada kemungkinan membatasi kebutuhan akan transportasi dengan beberapa metoda yang dikenal dengan pembatasan lalu lintas. Perlunya pembatasan lalu lintas terhadap penggunaan kendaraan pribadi yang telah diterima oleh para pakar tranportasi sebagai hal yang penting dalam menanggulangi masalah kemacetan di daerah perkotaan.
9.2 Kebijakan Perparkiran
Parkir didefinisikan sebagai tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi keselamatan. Ruang lain dapat digunakan untuk ruang parkir. Parkir mempunyai tujuan yang baik dan akses yang mudah. Jika parkir terlalu jauh dari tujuan, orang akan beralih ke tempat lain. Oleh karena itu tujuan utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan.
Kebijakan perparkiran dilakukan untuk meningkatkan kapasitas jalan yang sudah ada. Penggunaan jalan sebagai tempat parkir jelas memperkecil kapasitas jalan tersebut karena sebagian besar lebar badan jalan digunakan sebagai tempat parkir. Penggunaan parkir yang tidak baik cenderung merupakan penyebab kemacetan karena antrian kendaraan yang menunggu tempat kosong justru menghambat pergerakan lalu lintas.
Kebijakan parkir bukan di badan jalan seperti pembangunan bangunan tempat parkir atau membatasi tempat parkir jelas merupakan jawaban yang sangat tepat karena sejalan dengan usaha mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan mengalihkan penumpang dari angkutan pribadi ke angkutan umum. Pengalihan badan jalan yang pada mulanya digunakan sebagi tempat parkir menjadi lajur khusus bus juga merupakan jawaban yang sangat tepat. Kebijakan parkir juga menentukan metoda pengontrolan dan pengaturannya. Pelaksanaan pengaturan parkir telah sering dilakukan sejak tahun 1960-an, yang biasanya meliputi:
a) Pembatasan tempat parkir di badan jalan.
b) Merencanakan tempat parkir di luar daerah, seperti park-and-ride.
c) Pengatuaran biaya parkir, dan denda yang sangat tinggi terhadap pelanggar parkir.
9.3 Prioritas Angkutan Umum
Angkutan umum menggunakan prasarana lebih efisien dibandingkan dengan kendaraan pribadi, terutama pada waktu sibuk. Terdapat dua jenis ukuran agar pelayanan angkutan umum lebih baik:
a) Perbaikan operasi pelayanan, frekuensi, kecepatan dan kenyamanan.
b) Perbaikan sarana penunjang jalan, seperti:
• Penentuan lokasi dan desain tempat pemberhentian dan terminal yang baik, terutama dengan adanya moda transportasi yang berbeda-beda seperti antara transportasi antar kota dan transportasi perkotaan.
• Pemberian prioritas yang lebih tinggi pada angkutan umum. Teknik yang sering digunakan adalah prioritas bus, lampu lalu lintas, tempat pemberhentian taksi dan lain-lain.
Untuk merangsang agar masyarakat menggunakan angkutan umum, hal utama yang perlu diperhatikan adalah pejalan kaki. Perjalanan dengan angkutan umum selalu diawali dan diakhiri dengan berjalan kaki. Jadi jika fasilitas pejalan kaki tidak disediakan dengan baik, masyarakat tidak akan pernah menggunakan angkutan umum. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah masalah fasilitas, kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki.

BAB III
TINJAUAN LOKASI/STUDI KASUS

1. Administrasi
Secara Administarsi wilayah studi atau kajian kami terletak di Kelurahan Sinri Jala Kecamatan Panakukang Kota Makassar. Kelurahan Sinri Jala secara administrasi berada antara;
a) Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kariwisi Utara
b) Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Karampuang
c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tammamaung
d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Karuwisi

2. Keadaan Lalu lintas
2.1 Lebar Jalan
Jalan yang merupakan prasarana transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka tersebut, jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan seperti pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ruas jalan AP.Pettarani yang merupakan wilayah studi merupakan jalan dengan fungsi sebagai jalan arteri dengan lebar 24 Meter.
2.2 Fasilitas Jalan
Yang dimaksud dengan fasilitas jalan disini adalah segala sesuatu fasilitas yang ada di sekitar jalan yan dapat membantu akan keberadaan jalan tersebut. Fasilitas jalan tersebut diantaranya; Sebra Cross, Trotoar, Lampu jalan, jalur hijau, dan lainnya.
a) Sebra Cross
Pada wilayah studi kami ini (jalan A.P.Pettarani, kelurahan Macini) belum disediakan sarana berupa sebra cross. Ini sangat sangat disayangkan mengingat di daerah ini merupakan tempat transit kendaraan (pete-pete) sehingga akan menimbulkan banyaknya orang yang akan menyebrang di jalan ini.
b) Trotoar
Untuk sarana yang satu ini (trotoar) juga belum tersedia di kawasan wilayah studi kami ini. Namun kami melihatnya bahwa ini masih dalam taraf pengadaan mengingat daerah ini masih dalam masa pembangunan sehinga untuk kedepannya masih sangat mungkin untuk di adakan.
c) Lampu Jalan
Untuk lampu jalan sudah sanagat mencukupi untuk menerangai wilayah jalan A.P. Petarani pada umumnya maupun wilayah studi kami pada khususnya. Ini bias dibuktikan dengan kuantitas dan kualitas penerangannya yang sudah sangat layak dipakai pada jala sekelas jalan A.P. Pettarani.
d) Jalur Hijau
Pada jalur ini sudah ada jalur hijau yang mebagi jalan ini menjadi dua jalur dengan lebar 2 meter.
e) Rambu-rambu
Rambu-rambu yang berupa tanda belok dan tanda penyebrangan yang memang keberadaannya sangat diperluan mengingat banyaknya belokan di jalan ini.

3. Tata Guna Lahan
Transportasi dan tata guna lahan berhubungan sangat erat, sehingga biasanya dianggap membentuk satu landuse transport system. Agar tata guna lahan dapat terwujud dengan baik maka kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik. Sistem transportasi yang macet tentunya akan menghalangi aktivitas tata guna lahannya. Sebaliknya, tranportasi yang tidak melayani suatu tata guna lahan akan menjadi sia-sia, tidak termanfaatkan.
Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh negara-negara yang telah maju (developed) dan juga oleh negara-negara yang sedang berkembang (developing) seperti Indonesia baik di bidang transportasi perkotaan (urban) maupun transportasi antar kota (regional). Terciptanya suatu sistem transportasi atau perhubungan yang menjamin pergerakan manusia dan/atau barang secara lancar, aman, cepat, murah dan nyaman merupakan tujuan pembangunan di sektor perhubungan (transportasi).
Sistem transportasi antar kota terdiri dari berbagai aktivitas, seperti industri, pariwisata, perdagangan, pertanian, pertambangan dan lain-lain. Aktivitas tersebut mengambil tempat pada sebidang lahan (industri, sawah, tambang, perkotaan, daerah pariwisata dan lain sebagainya). Dalam pemenuhan kebutuhan, manusia melakukan perjalanan antara tata guna tanah tersebut dengan menggunakan sistem jaringan transportasi.
Beberapa interaksi dapat dilakukan dengan telekomunikasi, seperti telepon, faksimili atau surat. Akan tetapi hampir semua interaksi yang terjadi memerlukan perjalanan dan oleh sebab itu akan menghasilkan pergerakan arus lalu lintas.
Sasaran umum dari perencanaan transportasi adalah membuat interaksi menjadi semudah dan seefisien mungkin (Jurnal PWK No. 3, 1997:37). Sebaran geografis antara tata guna tanah (sistem kegiatan) serta kapasitas dan lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabung untuk mendapatkan volume dan pola lalu lintas (sistem pergerakan). Volume dan pola lalu lintas pada jaringan transportasi akan mempunyai efek feedback atau timbal balik terhadap lokasi tata guna tanah yang baru dan perlunya peningkatan prasarana.
Hubungan dasar antara sistem kegiatan, sistem jaringan dan sistem pergerakan disatukan dalam beberapa urutan konsep seperti yang terlihat dalam gambar 2.2. Konsep tersebut yang dijadikan dasar peramalan kebutuhan pergerakan yang bersama dengan kondisi jaringan dapat diketahui kinerja dari jaringan jalan bersangkutan. Konsep perencanaan transportasi biasanya dilakukan secara berturut sebagai berikut :
a) Aksesibilitas
Suatu ukuran potensial atau kesempatan untuk melakukan perjalanan. Konsep tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi problem yang terdapat dalam sistem transportasi dan mengevaluasi solusi-solusi alternatif.
b) Pembangkit lalu lintas
Besaran perjalanan yang dibangkitkan oleh tata guna tanah.
c) Sebaran pergerakan
Besaran perjalanan secara geografis di dalam daerah perkotaan.
d) Pemilihan moda transportasi
Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi untuk suatu tujuan perjalanan tertentu.
e) Pemilihan rute
Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan rute antara zona asal dan tujuan.
f) Hubungan antar waktu, kapasitas dan arus lalu lintas
Waktu tempuh perjalanan sangat dipengaruhi oleh kapasitas ruas jalan yang ada dan jumlah arus lalu lintas yang menggunakannya.
Secara tata guna lahan kami melihatnya bahwa jalur ini berpotensi untuk menjadi bangkitan, mengingat bahwa sepanjang daerah jalan A.P.Pettarani merupakan wilayah perkantoran yang mengakibatkan banyak kendaraan terutama kendaraan sedan dan motor. Hal lain juga bahwa jalur ini merupakan jalur utama menuju pusat kota Makassar.
Keberadaan alih fungsi lahan yang berubah dari perkantoran menjadi areal perdagangan seperti yang tejadi di sepanjang jalan A.P.Pettarani juga berpotensi besar membangitkan aktivitas yang sangat besar di jalur ini.
(http://planol09i.blogspot.com/2011/04/managemen-transportasi.html)



















DAFTAR PUSTAKA

Badan Pendidikan dan Latihan Perhubungan Pusat Pendidikan dan Latihan Perhubungan Darat. 1997. Rekayasa Lalu Lintas.

Handayani, R. 2006. Transportasi Jalan Raya Yokyakarta Studi Kasus Kepadatan dan Pertumbuhan Trafik di Jalan Gejayan, Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Parangtritis Tahun 2005. Diambil di http//:www.scribd.com/doc/14095084/Kepadatan-Transportasi-Jalan-Raya pada tanggal 30 Maret 2011, pukul 17.15 WITA.

Management Transportasi. Diambil di :
http://planol09i.blogspot.com/2011/04/managemen-transportasi.html pada tanggal 6 April 2011, pukul 21.50 WITA

Morlok, Edward K. 1995. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Jakarta: Penerbit Erlangga

Nasution, M. Nur. 2004. Manajemen Transportasi. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia